Friday 6 June 2014

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL STAD TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 1 NATAR LAMPUNG SELATAN

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL STAD TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 1 NATAR LAMPUNG SELATAN

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL STAD TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA

Wahid Priyono, Pramudiyanti Pramudiyanti, Rini Rita T. Marpaung

Abstract


This research aims to know the effect of STAD model towards learning achievement and student’s cooperative activity. The design of this research was pretest-posttest with non-equivalent. The subject of this research were students in the class VIIIB and VIIID, choosen by using purposive sampling. This research used quantitatif and qualitatif data. The quantitative data was obtained from cognitive achievement and analyzed statistic by U-test. The qualitative data was the description of student’s cooperative activities. The result showed that STAD model improves student’s achievement in experiment class by average gained about 0.58. The average gain of achievement in cognitive indicator C1 (0.81) and C2 (0.44). The activity of student’s cooperative in all observed aspects had moderate level that was 67.18 %. Therefore, the use of STAD learning model influences significantly towards the students’s learning achievement and improves the student’s cooperative activities on the subject of human digestive system.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model STAD terhadap hasil belajar dan aktivitas kerjasama siswa. Desain yang digunakan yaitu pretes postes non ekuivalen. Subjek penelitian siswa kelas VIIIB dan VIIIdipilih secara purposive sampling. Data penelitian berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa hasil belajar dan dianalisis secara statistik  melalui uji-U. Data kualitatif berupa deskripsi aktivitas kerjasama. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan model STAD meningkatkan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dengan rata-rata Gain 0,58. Rata-rata Gain C1 (0,81) dan C2 (0,44). Aktivitas kerjasama siswa dari semua aspek yang diamati berkriteria cukup  yaitu 67,18 %. Dengan demikian, penggunaan model STAD  berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa dan meningkatkan aktivitas kerjasama siswa pada materi pokok sistem pencernaan manusia.

Kata kunci : aktivitas kerjasama, hasil belajar, model STAD

References


Arikunto, S. 2010. Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arsyad, A. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asyhar, R. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.
BSNP. 2006. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs). (Online). (http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=103/. Diakses pada 3 Mei 2013: 21.04 WIB).
Depdiknas. 2003. Pendidikan Menurut Undang-Undang. (online). (http://www.depdiknas.co.id. Diakses pada 8 Mei 2014: 10.47 WIB).
Djamarah, S.B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Isjoni. 2013. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.
Karuru, P. 2003. Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Seting Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Kualitas Belajar IPA Siswa SLTP. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. No.045 Th.9.
Kemdikbud. 2012. Standar Nasional Pendidikan. (Online). (http://www.paudni.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2012/08/PP-no- 19-th-2005-ttg-standar-nasional-pendidikan.pdf. Diakses pada 8 Mei 2014: 09:45 WIB).
Nawawi, H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwanto, N. 2008. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin R.E. 2009. Cooperatif Learning : Teori, Riset dan Praktek. Bandung: Nusa Media.
Van Wyk, M.M. 2012. The Effects of the STAD-Cooperative Learning Method on Student Achievement, Attitude and Motivation in Economics Education. Education Journal. Vol J. Soc. Sci, 33(2): 261-270(2012).
Yolida, B. 2012. Meningkatkan Aktivitas Belajar Melalui Model Pembelajaran STAD. (Prosiding Seminar Lesson Study). Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Komposisi Bahan di Dalam Sabun Padat Maupun Sabun Cair

Komposisi Bahan di Dalam Sabun Padat Maupun Sabun Cair

KOMPOSISI SABUN
Achmad (2009) mengemukakan bahwa sabun adalah senyawa garam dari asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari air. Selajan dengan hal tersebut, Wasitaatmadja (1997: 98-100) berpendapat bahwa sabun konvensional yang dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali serta sabun deterjen saat ini yanng dibuat dari bahan sintetik, biasanya mengandung surfaktan, pelumas, antioksidan, deodoran, pewarna, parfum, pengontrol pH, dan bahan tambahan khusus.
§  A.   Surfaktan
Surfaktan adalah bahan terpenting dari sabun. Lemak dan minyak yang dipakai dalam sabun berasal dari minyak kelapa (asam lemak C12), minyak zaitun (asam lemak C16-C18), atau lemak babi. Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan sabun yang berbeda secara fisik dan kimia. Ada sabun yang cepat berbusa namu airnya terasa kasar, namun ada pula sabun yang lambat berbusa tetapi terasa lengket.
§  B.   Pelumas
Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak hanya mampu meminyaki kulit, tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak dan menstabilkan busa, misalnya asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, parafin lunak, cocoa butter, dan minyak almond.
§                   C.  Antioksidan
Bahan ini diperlukan untuk menghindari kerusakan lemak dalam sabun yang dapat menimbulkan bau tengik. Salah satu bahan yang dapat menghambat proses tersebut adalah stearil hidrazid.
§                     D. Deodoran
Salah satu deodoran yang umumnya digunakan dalam sabun adalah TCC (Trichloro carbanilide) yang penggunaannya mulai dibatasi akibat adanya kekhawatiran efek samping dari zat tersebut.
§                    E. Pewarna
Pewarna dalam sabun diperbolehkan selama  memenuhi peraturan yang ada (0,01-0,5%). Salah satu zat pewarna dalam sabun adalah titanium dioksida yang memberikan efek berkilau pada sabun.
§                    F.  Parfum
Bahan ini digunakan sebagai pewangi dalam sabun. Dalam campurannya, parfum yang digunakan dalam sabun harus berada pada batas pH tertentu.
§                    G. Pengontrol pH
Sabun dapat dibuat dengan pH rendah atau sesuai dengan pH kulit denganmenambahkan asam lemak yang bersifat lemah seperti asam sitrat.

§                    H. Bahan Tambahan Khusus
Berbagai bahan tambahan yang ditemukan pada sabun diantaranya:
ù  Sukrosa dan gliserin untuk membuat sabun menjadi lebih transparan
ù  Fenol dan kresol sebagai antiseptik
ù  Bahan noniritatif pada sabun bayi

Anonim (2012) menambahkan bahwa bahan tambahan (Additives) dalam deterjen untuk membuat produk lebih menarik, diantaranya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzim, borax, sodium chlorida, dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) yang dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjent ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti redeposisi).
EFEK SAMPING SABUN PADA KULIT MANUSIA

EFEK SAMPING SABUN PADA KULIT MANUSIA


Menurut Wasitaatmadja (1997: 100-103) bahwa sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit, baik kotoran yang larut dalam air maupun kotoran yang larut dalam lemak. Namun, penggunaan sabun juga dapat mengakibatkan efek samping bagi tubuh, berupa: 

   v  Daya Alkalinisasi Kulit
Daya Alkalinisasi sabun dianggap sebagai faktor terpenting dari efek samping sabun. Reaksi basa yang terjadi pada sabun konvensional melepaskan ion OH sehingga pH larutan sabun berada di antara 9 hingga 12. Hal ini diduga sebagai penyebab iritasi pada kulit. Alkalinisasi dapat menimbulkan kerusakan kulit bila kontak dengan kulit berlangsung lama, proses pembilasan yang kurang sempurna, serta daya absorpsi kulit terhadap sabun.

   v  Daya Pembengkakan dan Pengeringan Kulit
Kontak antara kulit dengan air (pH 7) dalam waktu lama akan menyebabkan lapisan tanduk membengkak akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat proses pembengkakan dan menyebabkan kerusakan kulit. Kerusakan tersebut akan menambah kekeringan kulit akibat kegagalan sel kulit mengikat air. Hal ini diikuti dengan proses pelepasan ikatan antar sel tanduk kulit sehingga kulit tampak kasar dan tidak elastis.

   v  Daya Denaturasi Protein dan Ionisasi
Reaksi kimia sabun dapat mengendapkan ion Kalsium (K) dan Magnesium (Mg) di lapisan atas kulit. Pada kulit yang kehilangan lapisan atas tanduk, pengendapan K+ dan Mg++ akan mengakibatkan reaksi alergi yang disebabkan oleh tertutupnya folikel rambut dan kelenjar sehingga menimbulkan infeksi kuman. Pada deterjen, adanya gugus SH menyebabkan denaturasi keratin yang diawali oleh lepasnya gugus tersebut dari sistin dan sistein. Sehingga gugus SH bebas tersebut memicu terjadinya iritasi kulit.

   v  Daya Antimikrobial
Adanya daya antimikroba menyebabkan kekeringan pada kulit, dan oksidasi sel-sel keratin. Efek samping lain yang dapat disebabkan oleh deterjen dan sabun antara lain dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik, atau kombinasi keduanya. Pada dasarnya, sabun bukanlah bahan sensitizer, tetapi berbagai bahan aditif, misalnya parfum, lanolin, dan antibakterial, dapat menyebabkan timbulnya efek samping. Hakim (1986: 465) menyatakan bahwa sejumlah sabun, terutama yang berkadar fosfor tinggi, mengotori air drainase. Suatu akumulasi fosfor (dan unsur lain yang penting bagi pertumbuhan tanaman) di air dikenal sebagai uetrophication. Hal tersebut dapat menimbulkan kelebihan pertumbuhan ganggang atau lumut air (bunga ganggang) karena cadangan oksigen akan habis dan ikan akan mati, sejumlah negara mengatur jumlah dan macam bahan kimia campuran yang diizinkan dalam pembuatan sabun.