Dengan demikian, hasil kerja penciuman bukan hasil kerja intelektual, tapi
lebih merupakan proses emosional dan naluriah. Agar dapat dibaui, suatu zat
harus mengeluarkan partikel-partikel kimia yang membentuknya. Susunan
kimiawinya harus merupakan susunan yang kompleks. Bila susunannya sederhana,
zat ini sulit atau sama sekali tidak dapat dibaui, seperti garam.
Partikel-partikel kimia yang kompleks tadi harus bisa melayang-layang di udara
dalam bentuk gas,sehingga hidung dapat
menangkapnya. Selanjutnya, si partikel masuk ke rambut-rambut halus yang
berlumuran selaput lendir hidung, lalu meleburkan diri dengan lendir. Setelah
itu, barulah sang bau dapat terdeteksi. Zat-zat yang mudah mengeluarkan gas
biasanya berbau amat tajam, karena dapat memasuki hidung dalam jumlah banyak
(Widiastuti,2002).
Ketika penciuman terganggu karena flu, tiba-tiba makanan tidak menarik
selera. Sebenarnya, yang kita namakan selera merupakan proses kerja indra
penciuman. Dibanding dengan indra perasa, indra penciuman jauh lebih peka,
yaitu sekitar 10.000 kali lebih peka. Hanya ada empat rasa yang dapat dideteksi
indra pengecapan kita: manis, asam, asin, dan pahit. Indra penciumanlah yang
membantu membedakan nuansa empat rasa tersebut. Dengan kata lain, sensasi dan
aneka kenikmatan yang kita dapatkan dari makanan lebih merupakan kerja keras
indra penciuman, dan bukannya lidah. Apa pun yang masuk ke mulut, meski baunya
samar, sontak disambar oleh rongga hidung, tempat bersemayamnya sel-sel
penerima bau. Di sana diolah jadi informasi yang lebih detail, tidak sekadar
asam, manis, atau asam (Widiastuti,2002).
Contoh Tinjauan Pustaka Untuk Laporan Indera Penciuman Pada Manusia
4/
5
Oleh
Wahid Priyono,S.Pd.